Orange Jus dan Mie Rasa Liur

Orange Jus..

Senyum. Ketawa. Nangis. Berantem. Adu argument. Tepuk tangan. Tertunduk lesu. Huuuuuh.. Semua itu gue alamin sama mereka. Kawan-kawan gue tercinta angkatan 2001 Aduh.. Gue sedih banget kalo liat rangkaian foto-foto gue dan semua teman gue semasa ngejalanin Ospek bareng di Jurusan Hati gue, Seni Rupa IKIP Jakarta. Kalo sekarang sih Seni Rupa UNJ. Kangen yang kerasa. Gila. Gue pengen banget kuliah lagi sebenernya. Lebih tepatnya gue sedih banget karena cuma bisa menghabiskan setahun bergelut dengan kegembiraan dan kesulitan berkuliah bersama mereka. Gak kurang gak lebih.

Sedikit Flashback..

Hidup adalah pilihan. Dan setiap pilihan punya konsekwensinya masing-masing. Sama halnya dengan pilihan gue buat kerja mencari sesuap duit. Niat awal gue kerja sebenernya buat ngebantu biaya kuliah. Secara gue bener-bener harus puas dengan kondisi yang pas-pasan buat sekedar biaya kuliah atau bahkan biaya hidup gue di dunia perkuliahan. Apalagi ketika gue memutuskan untuk pindah dunia. Dari tiga tahun gue memaksakan buat menerima semua pelajaran tentang kelistrikan sampe akhirnya gue terpaksa melawan orangtua gue untuk menekuni dunia seni yang gue inginkan selama ini. Gue harus rela rebut hanya untuk bisa bergulat dengan cat minyak atau akrilik, patung, keramik, desain product, atau pengetahuan tentang dunia kritik seni.

Yup.. Seni Rupa.

Gak tahu kenapa gue begitu tertarik dengan dunia yang satu ini. Bukan karena pengen dibilang seniman. Karena gue sendiri gak pernah ‘pede’ sampai kapanpun menyandang gelar itu. Bukan apa, masalahnya gue sejujurnya emang gak bisa apa-apa. Gak punya talenta yang bisa disejajarkan sebagai golongan orang-orang itu. Mereka punya skil dan ilmu. Gue gak punya keduanya. Goresan tangan gue jauh dibawah standart. Ide-ide gue buat sekedar membuat desainpun gak pernah memuaskan.

Bener-bener biasa aja. Kalo orang bilang, anak TK juga bisa.

Dan gue punya cerita tentang itu. Memalukan, sekaligus lucu, dan juga sedikit memotivasi gue buat lebih maju. Gue lupa tepatnya. Dulu gue pernah nyoba membuat lukisan untuk pameran gabungan gue yang pertama kali dengan temen-temen di Unit Kesenian Mahasiswa yang ada di kampus gue. Gue berhasil bikin lima buah lukisan cuma dalam waktu beberapa hari. Maklum, lagi mood. Jadi enak aja ngerjainnya. Ngalir gitu aja. Dan hasilnya? Jangan Tanya sama gue! Lo cukup tanya orang yang ada di deket tukang bingkai di daerah pasar Mester Jatinegara tempat gue membungkus lukisan gue dengan rangkaian kayu di setiap sisinya. Karena disini point of interestnya. Ketika gue membawa semua lukisan gue ke sana, tiba-tiba ada orang yang iseng berkomentar tanpa bertanya lebih dulu. Intinya, dia dengan santainya bilang kalo lukisan gue layaknya gambar seorang anak TK.

Shit.. Malu banget gue. Tapi begitu dia nanya punya siapa itu, dan gue Cuma menunjukkan jari telunjuk kanan gue setengah berani setengah minder, gantian dia yang jadi malu dan enggan berkomentar lagi. Huahahaha..

Kemampuan gue di bidang yang satu itu entah gue dapatkan dari siapa..

Nyokap? Mmm.. Wanita yang paling gue cinta itu gak bisa gambar sama sekali. Kelebihan di dunia seni hanya di dunia senisuara. Doi pernah juara satu lomba karaoke. Pesertanya? Terbatas banget. Hanya dirinya sendiri. Lokasi? Ruang keluarga rumah gue. Hadiah? Mmm.. Cuma kebanggaan pribadi, karena suaranya gak sampe membuat tetangga sebelah rumah melempari tempat tinggal gue dengan benda-benda tumpul atau bom Molotov, dan gak mendorong mereka berbondong-bongong pindah rumah, atau merubah kewarganegaraan secara bersamaan.

Bokap? Double Mmmm.. Bokap gue superduper alim. 180 derajat bertolakbelakang dengan Nyokap tercinta. Lebih banyak diam. Tapi sekalinya ngomong, bisa bikin semua penghuni rumah layaknya patung tanpa nyawa. Cicak atau kecoa pun kalo denger dia ngomong, terutama bila nadanya agak tinggi 3 oktaf, gue yakin bakalan ikut ngebeku. Kaku kaya paku tertancap di bangku. Walau terkesan gak bersahabat, sebenernya bokap malah sosok yang mengasyikan buat di ajak sharing, meski kadang terkesan menggurui. Tapi mau gimana lagi. Bukankah semua orang tua seperti itu. Dan buat gue itu sebuah hal yang wajar. Karena mereka sudah lebih dulu makan asam manisnya kehidupan dan pahit getirnya dunia. Pengalaman lebih sudah ditangan tentunya.

Entah darimana kegemaran gue tentang dunia seni, terutama kesenirupaan itu berasal. Entah turun dari siapa. Tapi yang pasti gue bersyukur. Gue masih diberi sedikit bakat di dunia itu. Thanks to Allah SWT yang mau ngasih gue kesempatan buat belajar lebih tentang kesenirupaan. Baik secara otodidak maupun lewat jalur pendidikan formal. Semuanya gue nikmatin sebagai bagian proses pembelajaran gue tentang hidup.

Terimakasih tak terhingga juga karena gue pada akhirnya bisa mengenal teman-teman gue yang edan tak terhingga juga di tahun itu. 2001. Ketika gue banting haluan dari dunia listrik ke dunia kuas. Hehehe..

Orange Jus.
Nama yang keren buat sebuah moment penerimaan mahasiswa baru, ospek lebih tenarnya, di jurusan Seni Rupa gue yang tercinta ini. Totally different sama ospek-ospek jurusan lain. Bahkan kalo mau jujur, kita bisa di bilang ospek independent. Seragamnya aja beda-beda tiap hari. Bawaannya ada-ada aja. Pisang dempet salahsatunya. Kendaraan operasional ke kampus pun berubah total, yang biasanya bis umum berubah jadi bajaj. Dan lucunya gue dan temen-temen gue yang lain harus di drop sampe depan jurusan dan harus cium tangan sang supir bajaj dan meminta tandatangannya untuk memenuhi tugas dari sang senior. Ide yang brilian menurut gue. Paling nggak dari situ kita jadi makin deket dengan orang lain dan makin membuka dunia kita dengan siapapun. Just like everyone said, Don’t Judge Book by It’s Cover. Seorang supir Bajaj bisa jadi guru yang tak kita sadari sebagai contoh manusia-manusia tegar yang berani berhadapan dengan kerasnya dunia.

Mie Rasa Liur.
Sama kerasnya dengan usaha gue buat diterima sebagai keluarga seni rupa kampus gue. Saat inagurasipun gue banyak yang gue dapat. PERMASARU judulnya. Dari makan mie melar bareng-bareng, tentunya setelah sebelumnya kita mengunyah sebanyak delapanbelas kali sebelum kita muntahkan lagi trus diaduk-aduk lagi dengan mie olahan mulut temen gue yang lain di wadah yang disediakan trus kita makan lagi sampe habis. Dari dibotakin tanpa belas kasihan dan tanpa model yang jelas, maupun di tonjok ma senior gue tanpa ampun di hara akhir acara. Meski sekali tapi bikin sakit. Meski bikin sakit tapi akhirnya jadi memory yang menggigit. Dan semuanya pun terbayar dengan keluarnya airmata gue di saat gue bener-bener “Diterima” sebagai bagian dari keluarga besar Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta. Cengeng banget yah. Tapi entah kenapa gue tetep bangga gue bisa sampe kaya gitu. Bahkan ketika gue nangis. Apalagi ketika gue dipeluk para senior-senior gue, baik yang seumur, atau lebih, atau bahkan yang dibawah gue sendiri.

Sudah 6 tahun lewat moment itu. Tapi gue masih merasakan aura itu ketika gue iseng mapir ke kampus gue. Kumpul dan ngobrol sampe tengah malem sama mantan temen-temen sejurusan gue. Sedih sih karena gue harus meninggalkan bangku perkuliahan yang berdebu tapi bikin nafsu belajar menggebu-gebu itu. Gak mau sebenernya harus berpisah dengan kebersamaan yang udah terjalin selama satu tahun lebih bersama temen-temen gue yang lain.

Tapi mau gimana lagi. Gue pada akhirnya tetep harus bisa menerima ketika pekerjaan gue lebih menuntut konsentrasi dan waktu yang lebih ketimbang bangku perkuliahan gue. Meski seperti gue bilang sebelumnya niat awal gue kerja bukan untuk ngebuat terlena dengan indahnya dunia tapi buat sekedar biaya kuliah. Tapi apa mau dikata. Semua berubah dengan sendirinya. Waktupun menjawab semuanya.

Ternyata hidup tak selalu semulus yang kita bayangkan. Kita tak bisa selalu memuaskan semua ingin dan angan. Kita hanya mahluk berakal ciptaan Sang Tuhan. Yang kadang dalam perjalanan berbuat kesalahan. Dan seringkali keliru menentukan pilihan. Seperti gue yang pengen banget jadi seniman. Namun sayangnya harus berakhir sebagai manusia biasa miskin pengalaman.

Buat semua temen seperjuangan di Senirupa. Maaf yah kalo gue sering bikin kecewa. Tapi kebanggaan sebagai bagian dari lo semua akan selalu ada dihati gue, meski gelar sarjana gak pernah mampir sedikitpun di tangan gue.


Mendung menutupi langit Jakarta. 7 November 2007. 11:53 wlg.

See You On The Dance Floor..!

Saat itu. Malam Sabtu. 2 November 2007.

Bingung gilaaaa..

Bingung aja gitu malam ini mau kemana. Bingung aja gitu mau stay di Jakarta aja atau nekat cabut ke Bandung cuma buat menghabiskan malam ini. It’s Friday nite, sob! Yang pasti weekend baru saja dimulai. Yang pastinya semua tempat hiburan menantikan kedatangan gue. Hahaha.. Narsis gila. Tapi mau gimana lagi coba, emang masih musim sih yang namanya hangout di malam yang penuh gemerlap ditemani cahaya lampu serba temaram, gelap-gelap gimana gitu. Gak ketinggalan musiknya yang ajep-ajep itu. Ajiippp..

Lo tau dong maksud gue. Apalagi kalo bukan. Dunia gemerlap. Clubbing. Party. Or what ever lah nama atau aliasnya.

Gak bisa dipungkiri lagi, dunia malam selalu jadi bahan pembicaraan menarik meski isinya itu-itu aja. Musik, joged, crowd, drink and tentunya get drunk. Hihihihi.. tapi jangan salah. Peminatnya? Jangan ditanya. Banyak banget. Dari semua kalangan, yang muda maupun yang tua, pria bahkan wanita, dari pemilik perusahaan bonafid ataupun pemilik warung rokok pinggir jalan biasa. Untuk kategori yang terakhir ini, pastinya beda club dong. Hehehe.. Tapi, dari semua perbedaan yang ada, lucunya semua ngemix begitu aja. Perbedaan yang ada kadang itu udah gak berarti ketika mereka udah nyatu di lantai dansa. Asyik berajojing ria, diiringin bingar musik yang menggetarkan jiwa dan membuat hati tertawa gembira.

Siap, boss! Itu faktanya.

Dan gue mungkin salahsatu yang masih seneng jalan bareng temen-temen gue untuk sekedar joget-joget gak jelas sana-sini. Gak tiap malam juga sih, meski hasratnya begitu. Hehehe.. Namanya juga masih ngerasa muda. Meski muka udah sedikit mengkerut kaya hantu jeruk purut.

Meski begitu, gak selalu hal negative yang bisa gue serap dari pergaulan malam yang kata kebanyakan orang “gak bener” itu. Oke, labelnya mungkin gak baik, tapi gue tetep bisa jadi orang baik koq, meski gue sometimes ngejalanin hal itu. Kadang ketika gue berada di tengah kerumunan crowd gue bisa begitu lincahnya. Gue bisa begitu ganjennya. Gue bisa begitu gemulainya. Eittsss.. jangan pikir gue binan yah! Jauh! Hehehe.. Kadang gue bisa tertawa senang ditengah guyonan yang keluar begitu aja dari mulut yang sudah sulit terkontrol. Entah karena omongan gue atau temen-temen gue. Intinya seneng. Intinya gue bisa sedikit melupakan kejenuhan gue akan hidup, meski sebenernya setelah malam berakhirpun gue akan bergulat kembali dengan kehidupan keras yang terpampang di hadapan gue.

Tapi ada kalanya ketika gue memilih untuk duduk manis di pojok ruangan untuk gak melantai, gue merenungi semua. Ya, kehidupan malam yang ada di depan mata gue. Kadang gue berpikir, gimana jadinya bangsa kita kalo generasi mudanya kaya gue and the other one yang masih menjadikan perilaku ini sebagai hobby atau udah jadi gaya hidup. Yang asyik memproduksi keringat dengan bergoyang-goyang sepanjang malam hingga pagi. Bahkan ada yang rela untuk pulang ke rumah sebentar untuk sekedar mengganti baju yang udah bau terasi dan kembali ke areal dansa lagi. Ibarat sinetron, to be continued. Bersambung. Kalo gue sih untungnya gak gitu-gitu amat. Buat apa juga. Gue datang ke situ bukan buat ngabisin duit, tapi buat seneng-seneng. Meski akhirnya gue harus rela juga merogoh isi kocek gue buat kesenangan sesaat gue itu.

Finally gue akhirnya memutuskan untuk cabut ke Bandung. Sempet ragu, tapi toh akhirnya gue berangkat juga. Bener-bener modal nekat. Secara sabtu paginya gue harus cabut lagi ke Jakarta buat ketemuan sama orang TV buat ngebahas konsep acara baru yang coba disodorkan ke gue dan teman-teman gue sebagai pemainnya. Huuuuhh.. Edan suredan!

Untungnya gue ditemenin sama temen-temen gue yang kebetulan lagi pada di Jakarta. Mereka juga salah satu alasan gue nekat cabut ke Bandung. Udah dua kali gue gagal ke Bandung buat hangout bareng mereka, padahal mereka udah menanti penuh harap akan kedatangan gue. Narsis lagi aja gue. Hehehehe..

Take off juga akhirnya jam sembilan malam. From Jakarta. Agak-agak macet. Biasa lah. Kalo hari Jum’at, jangan berharap kita bisa melenggang bebas membawa kendaraan kita menyusuri kota Jakarta. Padet mengesot, bukan merayap lagi. Emang Jakarta gak ada matinya deh. The best ever. Jalan tol aja yang dibilang bebas hambatan, malah berbalik jadi sempit tak beraturan. Gimana enggak, tol kita jatuhnya udah kaya showroom mobil terlengkap bertitel “Dalam Kota”.

Oke, stop talking bout the TOL. Let’s talk bout the Nite society again. Gue akhirnya sampe juga di Bandung. Jam 12 malem. Badan gue udah kerasa remuk duluan. Sempet hampir gagal jalan. Abis jarum jam udah ngaceng ke angka 1 tapi gue dan temen-temen gue belum ada geraknya sama sekali. kecapean juga kali yah. Makanya agak terkesan males-malesan. Tapi begitu dedengkotnya temen-temen gue angkat bicara, baru deh kita siap-siap. Gak lama kita pun melesat secepat kilat ke arah Paris Van Java.

Gue mutusin untuk buka table bareng MRH, sang dedengkot. Letaknya deket banget sama mejanya para DJ bermain. Alhasil, gak perlu butuh waktu lama buat kita semua ancur-ancuran. Mansion, club yang gue singgahi malam itu dipenuhi massa yang benar-benar menikmati musik yang disajikan saat itu. Dance floor penuh gila. Gue sendiri males buat turun dan lebih memilih untuk tetap berada di areal sofa gue. Beberapa kali gue sempet ditarik buat naik ke atas stage yang berada di DJ zone, tapi gak lama, karena jujur gue malu aja buat joget-joget gak jelas dihadapan banyak orang. Meski sebenarnya mereka juga gak peduli dengan kondisi di sekitar mereka. Haloo.. Wake up, man.. Dah gak ada yang sadar juga kaleee.. Mereka udah asyik dengan dunianya masing-masing. Mabuk gak mabuk, pada ajojing gila.

Sama gilanya dengan temen-temen gue. Mereka juga asyik nari-nari berbarengan. Secara yah, mereka para dancer. Malu mungkin udah gak ada di kamus mereka. Apalagi didorong hasrat mereka buat meliuk-liukan badan dengan asyiknya udah tertutupi cairan-cairan yang memabukkan itu. Hehehehe.. Intinya, malam itu Mansion dipenuhi sama para pendekar-pendekar Drunken Master. Tentunya dengan jurus mautnya masing-masing. Sampe pagi. Sampe kesadaran udah misah dari raga. Saat jalan sempoyongan dan mata agak semblep udah jadi tontonan yang siap tersedia.

Tapi jujur lagi. Mungkin gue sendiri mulai agak males jalan. Abis udah mulai rajin juga razia dimana-mana. Gue gak ngapa-ngapain juga sih. Tapi kan males aja, lagi enak-enak joged, tiba-tiba ada sorot lampu dan suara lantang berujar, "Perhatian! Anda sudah terkepung!". Huuuh.. Takuuut! Hehehe.. Lagian gue and the others dateng ke tempat penuh lampu yang menyilaukan mata itu niatnya buat seneng-seneng, bukan buat bikin jantung deg-deg'an dan lutut lemes tak terkendali. That's the point.

Satu hal, gue percaya banget semua ada masanya. Ada waktunya. Mungkin sekarang masih saatnya gue merasakan dan menjalani hal itu. Dan gue yakin, gue bakal meninggalkan semuanya ketika waktunya tiba. Lagipula, meski apa yang gue lakuin itu salah, orang bijak pernah bilang, "Kita gak akan pernah menghargai nilai sebuah kebenaran ketika kita tidak pernah melakukan kesalahan."

Pergaulan yang miring, tapi bikin hati gak jadi garing. Kelakuan yang salah, tapi kadang menghilangkan segala gundah. Tapi biar bentuknya sebuah kesalahan, paling tidak, kesalahan yang gue perbuat, semoga nantinya bisa membuat gue untuk lebih menghargai hidup. Menjalani hidup lebih berarti, syukur-syukur sampe mati. Hihihi..

Ini mungkin sudah menjadi salah satu bagian cerita gue. Hidup gue. Proses pendewasaan gue. Walaupun gue sendiri gak tau apa gue bisa melewatinya dengan pilihan yang benar atau tidak.

Suatu saat gue mungkin akan lelah sok mencari jati diri. Suatu saat mungkin kaki gue enggan untuk melangkah kesana-kemari. Suatu saat mungkin hati dan perasaan gue menolak keras untuk keluar di malam hari. Tapi entah kenapa, gue yakin ketika saat itu tiba dan terjadi, dunia malam akan terus menggeliat dengan lincahnya, sorot lampu akan tetap menyentuh dan menyilaukan mata, dan dentuman musik sang DJ pun tak akan berhenti menghajar dan menghantam jantung dan gendang telinga.

Itu nanti. Belum pasti. Dan saat ini gue cuma ingin berujar emosi..

SEE YOU ON THE DANCE FLOOR..


Jakarta. 6 November 2007. 23:28 whg.